Sesuai dengan IPPF, salah satu lingkup tugas Aktivitas Audit
Internal adalah tata kelola (Governance), di samping pengendalian
internal dan manajemen risiko. Tapi yakinkah kita, bahwa rata-rata auditor
internal di Indonesia telah meng-address lingkup tugas yang satu ini
dengan memadai?
Agak berbeda dengan definisi pengendalian internal dan
manajemen risiko yang relatif mapan dalam profesi audit internal, maka
batas-batas proses tata kelola dan peran auditor internal di dalam proses
tersebut belum terlalu banyak disinggung, kecuali di dalam IPPF. Dalam daftar
istilah IPPF, tata kelola didefinisikan sebagai kombinasi proses dan struktur
yang diimplementasikan oleh Board untuk menginformasikan, mengarahkan,
mengelola, dan memantau kegiatan-kegiatan organisasi menuju pencapaian
tujuan-tujuannya. Lebih lanjut, pada Standar 2110 digariskan peran Aktivitas
Audit Internal untuk menilai dan membuat rekomendasi yang tepat untuk
memperbaiki proses tata kelola dalam pencapaian tujuan-tujuan berikut :
- Mempromosikan etika dan nilai-nilai yang pantas dalam organisasi;
- Memastikan manajemen dan akuntabilitas kinerja organisasi yang efektif;
- Mengomunikasikan informasi risiko dan pengendalian kepada bidang-bidang yang sesuai di dalam organisasi dan
- Mengoordinasikan kegiatan dan mengomunikasikan informasi di antara Board, auditor internal dan eksternal, serta manajemen.
Sayangnya, sampai dengan saat ini IIA belum mengeluarkan practice
advisory yang memberikan pedoman lebih lanjut pelaksanaan standar ini.
Lantas, bagaimana kita, para auditor internal ini, akan
melakukan penilaian teknis proses tata kelola di organisasi kita?
Yang paling mudah adalah melakukan outsourcing kepada
penyedia layanan eksternal. Anda bisa menghubungi, misalnya, BPKP atau kantor
akuntan yang cukup besar yang sudah berulangkali menerima dan melaksanakan
penugasan penilaian tata kelola perusahaan yang sehat (GCG – good
corporate governance). Ada barang, tentu, harus ada uang. Cara ini
walaupun mudah, tapi pasti tidak murah.
Cara berikutnya, Anda bisa lakukan
sendiri penilaian tata kelola dengan menggunakan practice advisory edisi
lama. Sebagaimana kita ketahui IIA pernah mengeluarkan Practice Advisory
2130-1: Role of the Internal Audit Activity and Internal Auditor in the Ethical
Culture of an Organization. Cara ini, meskipun murah, namun terkendala
dengan pedoman yang sudah cukup daluwarsa dan tidak cukup rinci, sehingga
mungkin Anda harus banyak berimprovisasi dalam pekerjaan lapangan dan
pelaporannya.
Cara ketiga, yang tampaknya cukup masuk akal dari segi efektivitas
dan efisiensi adalah dengan menggunakan template self assessment yang
disediakan oleh pihak ketiga, seperti yang dikeluarkan oleh Forum for
Corporate Governance in Indonesia (FCGI).
FCGI sendiri adalah forum yang didirikan pada tanggal 8
Februari 2000 oleh 5 profesional dan asosiasi bisnis, yaitu AEI, IAI-KAM, IFEA,
INA, dan MTI, dan pada saat ini telah berkembang dengan tambahan 5 anggota
lainnya APEI; FKSPI BUMN / BUMD; IIA Indonesia Chapter; INA (Asosiasi Indonesia
Belanda); MAPPI; dan YPIA. FCGI mengembangkan alat untuk melakukan sef-assessment
terhadap kondisi GCG di perusahaan dalam berkas spreadsheet. Penilaian
juga bisa dilakukan secara online melalui website mereka di
http://www.fcgi.or.id . Dengan alat tersebut, suatu perusahaan dapat menilai
diri sendiri kondisi GCG melalui satu set kuesioner yang telah diberi bobot dan
skor evaluasi tertentu.
Secara singkat, ada lima aspek yang dinilai dalam kerangka
penilaian GCG versi FCGI ini, yaitu:
1. Hak pemegang saham (bobot 20%).
Dalam hak-hak pemegang saham, antara lain kita dapat
memberikan evaluasi, apakah perusahaan telah :
- menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dalam kurun waktu 6 bulan setelah akhir tahun buku, sesuai dengan pasal 65 ayat 2 UU Perusahaan Terbatas;
- menyerahkan kepada pemegang saham pemberitahuan mengenai Rapat Tahunan Pemegang Saham sekurang-kurangnya 28 hari sebelum RUPS diselenggarakan;
- mendorong para pemegang saham untuk menghadiri RUPS dan memanfaatkan hak suara mereka;
- memberikan kesempatan yang cukup kepada para pemegang saham untuk menyampaikan pertanyaan di RUPS; dll.
2. Kebijakan GCG (bobot 15%).
Dalam kebijakan GCG antara lain kita dapat menilai sendiri
apakah perusahaan telah:
- memiliki aturan tertulis tentang GCG di mana dijelaskan hak-hak pemegang saham, tugas dan tanggung jawab Dewan Direksi dan Dewan Komisaris;
- menyediakan akses bagi publik untuk mengetahui kebijakan perusahaan mengenai investor publik;
- membentuk sebuah organ yang bertanggung jawab (misalnya Dewan Komisaris) untuk memastikan bahwa perusahaan mematuhi aturan GCG yang telah ditetapkan;
- memiliki aturan perilaku / etika bagi karyawan secara tertulis;
- menginformasikan dan melaksanakan dengan baik aturan perilaku / etika tersebut; dll.
3. Praktik GCG (bobot 30%).
Dalam praktik GCG ini antara lain kita dapat menguji apakah
di dalam perusahaan :
- Dewan Direksi mengadakan rapat berkala secara teratur dengan Dewan Komisaris;
- ada rencana strategis dan rencana operasional yang memberi petunjuk kepada Dewan Direksi dan Dewan Komisaris untuk melaksanakan tugas dan fungsi mereka;
- Dewan Direksi dan Dewan Komisaris telah diberikan pelatihan atau mempunyai latar belakang yang tepat, yang memungkinkan mereka untuk melakukan tugas-tugas mereka;
- anggota Dewan Komisaris dan Dewan Direksi tidak terlibat konflik kepentingan;
- ada sistem penilaian kinerja Dewan Direksi maupun Dewan Komisaris; dll.
4. Pengungkapan (bobot 20%).
Dalam seksi ini kita dapat menilai apakah perusahaan
telah :
- menyediakan akses yang sama bagi pemegang saham dan analis keuangan;
- memberikan penjelasan yang tepat tentang risiko usaha;
- mengungkapkan remunerasi Dewan Direksi dan Dewan Komisaris dengan benar;
- mengungkap transaksi pihak terkait;
- menyajikan hasil kinerja keuangan dan manajemen analisis melalui internet; dll.
5. Audit (bobot 15%) .
Pada bagian ini kita dapat menilai apakah perusahaan telah:
- memiliki audit internal yang efektif,
- diaudit oleh akuntan publik yang independen,
- memiliki komite audit yang efektif,
- mengembangkan komunikasi yang efektif antara audit internal, audit eksternal dan komite audit, dll.
Setiap pertanyaan di dalam kuesioner tersebut diberikan
poin: misalnya, 5 poin untuk setiap jawaban “ya” dan 0 poin untuk jawaban
“Tidak”. Jadi misalnya dari 10 pertanyaan di bagian hak pemegang saham,
perusahaan menjawab 6 kali “ya” dan menjawab 4 kali “tidak”, maka untuk bagian
ini perusahaan akan memperoleh skor (6 x 5) + (4 X 0) = 30 (dari skor
maksimum 50 atau 10X5). Demikian pula seterusnya dengan bagian yang lain. Misalkan
dari hasil scoring lanjutan ini, seksi Kebijakan GCG perusahaan mendapatkan
skor 45 (dari skor maksimum 60), seksi Praktik GCG = 60 (dari skor maksimum
80), seksi Praktik Pengungkapan = 25 (dari skor maksimum 40), seksi Audit = 30
(dari skor maksimum 40). Untuk menentukan skor total, dengan menggunakan
metode rata-rata tertimbang dan dengan bobot seperti yang dijelaskan di atas,
adalah sebagai berikut :
((30/50 x 20%) + (45/60 x 15%) + (60/80 x 30%) + (25/40 x
20%) + (30/40 x 15%)) = 69,5 % atau skor 69,5 dari skor tertinggi 100.
Dengan skor 69,5, apakah berarti kondisi GCG
perusahaan tersebut baik ataukah buruk? Jawabannya adalah relatif,
karena tidak ada standar nilai yang menyatakan apa yang baik atau nilai yang
buruk. Namun, ada dua hal yang harus diperhatikan.
Pertama, perusahaan harus berusaha untuk mencapai
skor setinggi mungkin yang meningkat dari waktu ke waktu.
Kedua, pembandingan dengan perusahaan lain harus
dilakukan dengan hati-hati, terutama jika karakteristik industri mereka
berlainan. Jika sebuah perusahaan memperoleh skor 69,5 tidak dengan
sendirinya dapat dikatakan lebih buruk dibandingkan dengan perusahaan lain yang
memperoleh skor 75, dan demikian juga sebaliknya. Karena boleh jadi ada
beberapa aspek penting GCG yang tidak tercermin dengan baik dalam kuesioner
yang telah distandardisir tersebut. Bagaimanapun harus disadari, GCG
bersifat multidimensi dan tidak ada alat tunggal yang mampu mengukurnya dengan
sempurna pada setiap keadaan.
Metode self-assessment memiliki titik kekuatan
sekaligus juga kelemahan. Kekuatan dari metode ini adalah mudah dan
murah. Sementara kelemahannya adalah bahwa penilaian tidak dilakukan
secara independen sehingga dapat menimbulkan pertanyaan apakah penilaian
dilakukan secara objektif dan apakah benar telah menunjukkan kondisi riil GCG
perusahaan yang bersangkutan. Apalagi bila penilaian GCG dimaksudkan untuk
meyakinkan pihak eksternal, maka metode self-assessment dianggap tidak
memadai. Namun tidak berarti bahwa self-assessment ini tidak
bermanfaat. Potensi kemanfaatan dari self-assessment ini secara
internal perusahaan cukup besar bila penilaian dilakukan secara objektif,
sehingga perusahaan dapat mengidentifikasi bagian yang masih lemah dari Corporate
Governance untuk segera dapat memperbaikinya.
Jadi, tunggu apa lagi? Mari kita hitung sendiri skor GCG
perusahaan kita. Segera unduh self-assessment tools tersebut di web
FCGI di sini.
Referensi:
- PA Edisi 2004
- PA Edisi 2009
- http://www.fcgi.or.id/en/index.shtml (diakses tanggal 3 Februari 2010, 19.40 WIB)
- http://bpkp.go.id/?idunit=21&idpage=326 (diakses tanggal 3 Februari 2010, 19.40 WIB)
(sumber : http://www.fcgi.or.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar